Monday, March 10, 2014

Kisah Dakwah Walisongo: Awal Dari Sebuah Akhir

Kisah dakwah walisongo tidak hanya mengubah tatanan hidup Indonesia, tapi mengubah tatanan dunia. Indonesia yang awalnya negara Hindu-Budha, beralih tidak hanya negara menjadi negara mayoritas muslim, namun menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Bandingkan hal ini dengan China, yang lebih dulu mengenal Islam, atau negara-negara berbasis umat hindu-budha yang lain seperti Myanmar, Nepal, Korea atau Jepang. Kisah dakwah Islam di negara-negara tersebut cenderung stagnan dan tidak mengalami peningkatan dakwah berarti. Malah di beberapa kasus, terjadi penolakan dan pertikaian antara masyarakat lokal dengan para da’i dan umat Islam.

Masjid Demak Peninggalan Walisongo (Sumber: Wikipedia)

Tulisan ini mengupas kisah dakwah walisongo yang mengubah tatanan dunia. Dakwah walisongo merupakan awal tonggak keberhasilan dakwah di pulau Jawa dan tanah air, sekaligus mengakhiri dominasi kerajaan - kerajaan Hindu - Budha di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar dunia. Dakwah wali songo tidak bersifat destruktif, merusak dan memaksa pemeluk agama sebelumnya untuk memeluk islam, tapi lebih pada pendekatan secara harmonis kultural ke sendi-sendi kehidupan masyarakat.

"Walisongo"

Banyak yang menyangsikan kebenaran kisah dakwah walisongo. Namun, adanya makam para wali tersebut merupakan bukti sejarah yang kuat. Di sisi lain, keberadaan para wali tersebut juga disebutkan dalam babad tanah jawi, kitab rujukan sejarah jawa yang berisi sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa hingga masuknya agama Islam.

Babad Tanah Jawi, salah satu manuskrip yang menyebutkan adanya 'walisongo'


Meskipun ada perdebatan darimana sebenarnya walisongo tersebut berasal, apakah dari Hadramaut (Yaman), Gujarat (India) ataukah dari kawasan China, yang penting hasil dakwah para wali tersebut bisa kita rasakan hingga saat ini. Karakter Islam Indonesia sebagai Islam yang mayoritas bermadzab Imam Syafi'i Ahlusunnah Wal Jamaah memperkuat teori masuknya Islam ke Indonesia ini dibawa oleh para saudagar dari timur tengah daripada dari Gujarat (India) ataupun China. Bagaimanapun, entah darimana datangnya para wali tersebut, yang lebih perlu dikaji adalah bagaimana proses masuknya para wali tersebut ke Indonesia sehingga tidak mendapat pertentangan dari penduduk asli. Sebaliknya mereka mendapat sambutan hangat untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Masuk secara damai, bukan dengan kekerasan 

Para wali masuk ke Indonesia dan tanah Jawa khususnya dengan halus, bukan dengan jalan kekerasan seperti para penjajah. Mereka awalnya berdagang seperti yang dilakukan Rasulullah, kemudian mereka menjalin hubungan dengan para penduduk pribumi. Diantara mereka, banyak yang melakukan pernikahan dengan penduduk pribumi untuk tujuan dakwah, agar Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa.

Dari beberapa perkawinan para da’i dengan masyarakat tersebut, ada yang menikah dengan putri bangsawan dan raja. Dengan menikahi putri bangsawan dan para Raja, maka akselerasi Islam di tanah Jawa berkembang secara cepat. Disinilah terlihat perlunya strategi dakwah Islam yang cerdas dilakukan oleh para wali tersebut. Menikahi seorang putri bangsawan atau raja tidak hanya mengislamkan satu atau doa orang saja, tapi memberi implikasi ekonomi dan kekuasaan politik yang besar dan tentunya berimbas pada dakwah Islam agar lebih mudah diterima masyarakat pribumi.

Kesederhanaan dalam berdakwah 

Islam adalah agama yang mudah dan sederhana. Untuk menjadi pemeluk agama Islam hanya perlu mengucapkan dua kalimat syahadat, selesai. Kesederhanaan dua kalimat yang ringan di lisan namun berat timbangannya di akhirat kelak ini dibawa oleh para wali ketika mendakwahkan Islam. Dari proses perdagangan, berlanjut ke perkawinan, akhirnya para wali mulai mendirikan madrasah – madrasah Islam, sekolah untuk belajar Islam secara lebih intensif. Madrasah – madrasah tersebut pun dibangun di tempat yang sederhana seperti surau dan masjid, dan metode penyampaiannya pun dengan cara sederhana pula sehingga rakyat kecil mudah memahami Islam.

Mereka, para wali, tidak serta merta melarang adat dan budaya masyarakat, meski hal itu dilarang dalam Islam. Perlahan – lahan namun pasti, para wali mulai mengalihkan kebiasaan masyarakat seperti memberi sesaji di kuburan dan pohon-pohon dengan menggantinya menjadi tasyakuran di masjid – masjid. Sesuatu pemikiran yang sederhana, daripada makanan tersebut mubadzir kenapa tidak kita makan sendiri di masjid?

Kepada mereka yang belum melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh pun para wali menyikapinya dengan bijak dan sederhana. Diantara para wali tersebut merupakan para sufi yang mengajarkan tassawuf melalui kehidupan yang sederhana. Tak hanya itu saja, mereka para wali dengan pandainya mengemas Islam dengan kemasan yang menarik hingga seakan-akan sama sekali tidak bertentangan dengan kehidupan masyarakat saat itu. Salah satu contohnya adalah adanya dialog antara Sunan Ampel dan Sunan Giri dengan Prabu Kertawijaya yang menghasilkan kebebasan kepada rakyatnya untuk memeluk agama baru, agama Islam [1].

Dakwah secara profesional

Banyak literatur yang mengatakan, bahwa para wali memang diutus untuk mengemban misi dakwah secara profesional [2]. Mereka diutus oleh raja di negerinya untuk membentangkan Islam ke penjuru dunia lain karena saat itu kekhalifahan Islam sedang mencapai puncaknya di benua mereka. Mereka para wali yang diutus itu adalah para ahli strategi mengatur negara, ahli pengobatan/tabib, ahli perang yang juga memiliki keahlian berdagang. Maka tak heran, ketika sampai di Indonesia mereka dengan mudahnya 'menaklukkan' penduduk pribumi maupun para bangsawan lokal. Dakwah yang mereka lakukan memang dilakukan dengan cara yang bersih, elegan dan dan Islami.

Para wali menggunakan keahliannya dalam berdakwah secara profesional. Umumnya, tempat dakwah mereka dulu adalah kawasan maksiat dan angker yang dihuni jin-jin yang menyesatkan manusia. Dengan kemampuan yang mereka miliki, para wali memerangi khurofat dan taghut (sesembahan selain Allah) dan mengajak manusia untuk menyembah Allah. Kawasan Ample, Giri, Kudus merupakan sebagian contoh kawasan yang kini berubah menjadi sentra Islam.

Profesional dakwah para wali terlihat dari peninggalan mereka yang masih bisa temui hingga kini. Tembang Lir-ilir, wayang, arsitektur masjid, seni gamelan dan karya budaya-sastra lain merupakan bukti kepiawaian mereka dalam mengemban misi dakwah secara professional. Adanya Islam di Indonesia tidak mematikan budaya lokal dan asli Indonesia, namun justru memperkaya budaya Indonesia dan mewarnainya dengan kebudayaan Islam.

Ampel Denta, gerbang menuju makam dan masjid Sunan Ampel

Perbedaan Adalah Rahmat 

Sejak zaman para wali, pun hingga masa kini, bahkan sejak zaman para Nabi dan Sahabat, perbedaan dalam berdakwah selalu ada. Sang Nabi, ketika mengutus Muadz dan Abu Musa ke Yaman berpesan,
“Mudahkanlah (urusan) dan jangan dipersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (tidak tertarik) dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan berselisih.” 
Beliau baginda Rasulullah berpesan untuk memudahkan dakwah, memberi kabar gembira pada masyarakat serta bekerja-sama dan tidak berselisih. Perbedaan dalam berdakwah akan selalu ada, dan bergantung pada penyikapan dai sebagai pendakwah. Banyak kisah sahabat Rasulullah yang berbeda pendapat, namun mereka tetap bersatu, misalnya ketika sahabat berbeda pendapat tentang menyikapi perintah Rasulullah untuk shalat di tempat Bani Quraidhah. Begitu juga ketika Utsman bin Affan berbeda pendapat dengan Ibnu Mas’ud tentang shalat di Mina pada musim haji, di-qashar atau disempurnakan. Pun demikian dengan para Wali yang pernah berbeda pendapat dan terbagi dalam dua golongan besar: Abangan dan Putihan, Aliran Tuban dan Aliran Giri.

Alkisah, dalam sebuah musyawarah wali, Sunan Ampel sebagai pimpinan majelis wali saat itu mengusulkan untuk membuang adat Jawa seperti slametan kematian, namun Sunan Kali Jaga selaku wakil dari aliran abangan Tuban mengusulkan untuk tidak membuangnya, melainkan memasukkan unsur Islam dalam adat tersebut. Sunan Ampel mewakili golongan putih mengajukan keberatannya karena dikhawatirkan terjadi bid'ah di kemudian hari. Namun mayoritas majelis menyetujui pendapat sunan Kali Jaga tersebut.

Demikianlah Islam, ketika terjadi perbedaan dan sudah dimusyawarahkan, maka hasil musyawarah tersebut harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak dengan menjaga agar usaha dakwah selalu dalam rambu-rambu ajaran Islam.

Dakwah walisongo adalah awal dari sebuah akhir. Akhir dari masa-masa keterpurukan peradaban Indonesia dan awal kebangkitan peradaban Islam di Indonesia untuk menjadi mercusuar dunia. Usaha dakwah tersebut perlu kita lanjutkan untuk membangun peradaban dunia, peradaban yang fondasinya sudah ditancapkan begitu kuatnya oleh para wali di tanah air kita. Dakwah ini belum berakhir, dan dakwah ini harus dilanjutkan.


Poster Kontes Blog Muslim


*) Tulisan ini dibuat untuk diikut sertakan pada Kontes Blog Muslim "Teladan Walisongo", draft artikel ini bisa diakses di Google Doc.

Referensi dan link terkait:
[1] Maryatin, Pola Masuknya Islam di Indonesia, available online: http://kpi.stainsalatiga.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/POLA-MASUK-ISLAM-DI-ASIA-TENGARA.pdf
[2] Majelis Dakwah Walisongo, Wikipedia bahasa Indonesia, availaible online: https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Dakwah_Walisongo
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...